Selasa, 01 Februari 2011

Musim Gugur Keempat

Hari ini angin bertiup sangat kencang dan terasa begitu dingin, mungkin ini karena sudah memasuki puncak dari musim gugur yang akan segera beralih ke musim dingin. Kulangkahkan kakiku dengan sedikit gamang menyusuri jalanan yang sepenuhnya tertutupi oleh gundukan-gundukan dedaunan yang berjatuhan tiada Sepanjang jalan yang kulihat adalah gundukan dedaunan yang semakin hari semakin tinggi namun tak kunjung habis juga daun yang menempel di tangkai meski memang tak sebanyak sebelumnya. Heh… rasanya waktu berjalan dengan begitu cepat, tidak terasa ini sudah musim gugur keempat sejak dia pergi. Namun entah kenapa aku tak pernah bisa untuk melupakan dia. Bahkan secara tidak sadar aku selalu berusaha meyakinkan diriku bahwa dia pasti akan menepati janjinya. Sebuah janji yang ternyata begitu menakutkan karena membuatku tak mampu lagi berpaling, tak mampu lagi terlepas darinya bahkan untuk berusaha melupakannya walau seditik pun aku tak mampu. Sebuah janji yang membuatku menjadi begitu mengharapkan musim gugur segera datang dan tak lagi memperdulikan keindahan musim lainnya. Sebuah janji yang telah membuatku menyadari bahwa ada keindahan terselubung di dalam setiap daun yang jatuh berguguran dari tangkainya dan dari keangkeran pohon meranggas itu.
            WUZZ!!!
            Angin semakin kencang saja bertiup dan udara juga menjadi semakin dingin. Kurapatkan jaketku dan aku berjalan semakin cepat menuju ke dalam rumah. Segera aku masuk ke dalam kamarku dan kuhidupkan penghangat ruangan. Kubuka jendela kamarku dan kembali angin segar menerpa wajahku.
            Kembali kulirik pohon besar di depan rumahku itu dan kucoba untuk kembali menghitung jumlah daun yang masih berada di tangkai pohon itu seperti yang biasa kulakukan setiap musim gugur sejak empat tahun lalu.
            Masih ada 10 lembar daun yang tersisa. Sepertinya memang tidak akan lama lagi.
            “Tunggulah aku, aku pasti akan kembali ketika daun terakhir pada pohon besar ini jatuh saat musim gugur yang keempat” itulah yang dia katakan padaku waktu itu dan aku seperti terhipnotis oleh kata-katanya hingga aku masih tetap menunggunya sampai saat ini.
            Padahal sebenarnya aku tak tahu kenapa aku harus melakukan ini semua, tak ada cukup alasan bagiku untuk melakukannya. Tak ada ikatan apa pun diantara kami yang sebenarnya harus aku jaga.
            Dia, laki-laki ini, orang yang selalu aku tunggu ini dulu adalah seniorku di SMA Sky. Orang yang cukup popular dikalangan siswi di SMA Sky karena ketampanannya dan kemampuannya yang luar biasa dalam olah raga panahan.
            Dia laksana Cupid yang selalu tepat melemparkan anak panahnya ke setiap sasaran dan aku adalah salah satu korban dari panah yang secara sembarangan dia lepaskan dari busur itu. Namun tak seperti kebanyakan pengagumnya yang begitu nekat dan berani untuk mendekatinya hanya untuk sekedar mendapatkan perhatian darinya, aku justru seperti pungguk yang merindukan rembulan. Aku sama sekali tak berani untuk mendekatinya dan hanya bisa mengaguminya dari jauh saja. Bagiku saat itu asal aku telah melihat dia dari jauh itu sudah cukup membuatku merasakan kebahagiaan yang luar biasa. Dan itu terus berlangsung setiap hari hingga suatu ketika sebuah keajaiban datang menghampiriku.
            Aku ingat betul waktu itu ketika pulang dari sekolah hujan turun begitu lebat sehingga memaksaku yang tidak membawa payung harus berteduh di salah satu emperan toko yang ada. Betapa terkejutnya aku ketika kulirik ke sampingku dan kulihat dia berdiri di sebelahku. Tubuhnya basah kuyup mungkin dia juga mengalami nasib yang sama denganku. Tiba-tiba dia merogoh saku celananya dan mengeluarkan sapu tangan berwarna putih bersih lalu mengulurkannya padaku. Nyaris tak ada pembicaraan yang terjadi saat itu selain ucapan terimakasih yang kukatakan dengan sedikit tersendat-sendat. Dan itulah satu-satunya pertemuan kami secara langsung hingga dia lulus SMA.
            Aku tak penah berharap lebih dari itu namun pada malam menjelang keberangkatannya ke Inggris tiba-tiba dia datang menemuiku di rumah, entah dari mana dia tahu tempat tinggalku. Dan disanalah di bawah pohon besar itu janji itu dia ucapkan kepadaku.

«»

            Sudah 10 hari semenjak 10 lembar daun yang tersisa di pohon besar itu jatuh satu persatu dari tangkainya hingga tinggal menyisakan sebuah daun yang tak kunjung mau lepas dari tangkainya itu.
            Hari sudah semakin malam dan angin semakin kencang saja bertiup namun tetap saja tak mampu untuk membuat satu daun terakhir itu jatuh,
            Kembali kulirik pohon itu dari jendela yang memang sengaja kubuka sejak tadi, lama kupandangi daun itu namun tetap saja tak kunjung jatuh. Kucoba mengalihkan pandanganku dari daun itu namun percuma saja sebab yang ada dalam kepalaku saat ini hanyalah pohon itu. Maka kembali kutatap daun itu, kali ini berharap lebih keras lagi bahwa daun itu akan segera gugur.
            Kugenggam erat kedua tanganku di depan dada dan kembali berdoa namun tetap tak ada yang terjadi. Lama aku menunggu hingga akhinya sebuah angin yang begitu kencang bertiup membuat daun yang memang sudah rapuh itu akhirnya terlepas dari tangkainya, dan angin besar itu telah menerbangkan daun terakhir itu entah kemana.
            Maka secara spontan aku langsung menyambar jaketku dan berlari ke luar rumah menuju ke pohon besar itu. Kuedarkan pandanganku ke sekitar pohon besar ini namun tak ada siapapun yang ada disini. Tak ada yang terjadi setelah daun terakhir itu gugur, tidak ada yang datang menghampiriku seperti yang telah dia katakan padaku empat tahun silam.
            Kini aku terduduk lemas di bawah pohon besar yang tak lagi berdaun ini dan air mata begitu mudahnya keluar dari pelupuk mataku, deras sangat deras hingga berleleran jatuh membasahi tanah yang kering. Dan masih tetap mengutuki betapa bodohnya aku hingga tetap mempercayai lelucon konyol yang terjadi empat tahun silam itu.
            “Daun terakhir pada musim gugur yang keempat” ujar suara itu yang terasa begitu dekat di telingaku.
            Orang itu mengulurkan tangannya yang menggenggam sebuah daun yang aku yakin adalah daun terakhir yang gugur dari pohon besar ini tapi dari manakah dia mendapatkan daun itu, bukankah daun terakhir itu telah diterbangkan angin entah kemana?.
            Entahlah aku merasa mengenal suara dan tangan ini tapi aku tak ingin lagi berharap saat ini, tidak lagi. Maka kuangkat wajahku pelan dan kembali kudapati sosok itu, orang yang telah berjanji padaku empat tahun silam akan kembali lagi setelah daun terakhir pada musim gugur keempat jatuh.
            “Lee” ujarku lirih saat kutatap wajahnya.
Dia telah kembali, dia benar-benar telah kembali dan dia menepati janjinya padaku.

Angin di Daun Pohon

POHON
Alasan mengapa orang-orang memanggilku “Pohon” karena aku sangat baik dalam menggambar pohon. Setelah itu, aku selalu menggunakan gambar pohon pada sisi kanan sebagai trademark pada semua lukisanku. Aku telah berpacaran sebanyak 5 orang wanita ketika aku masih di SMA.
Ada satu wanita yang aku sangat aku cintai, tapi aku tidak punya keberanian untuk mengatakannya. Dia tidak memiliki wajah yang cantik, tubuh yang sexy, dan sebagainya. Dia sangat peduli dengan orang lain dan religius. Tapi dia hanya wanita biasa saja.
Aku menyukainya, sangat menyukainya, menyukai gayanya yang innocent dan apa adanya, kemandiriannya, aku menyukai kepandaiannya dan kekuatannya.
Alasan aku tidak mengajaknya kencan karena aku merasa dia yang sangat biasa dan tidak serasi untukku. Aku juga takut, jika kami bersama semua perasaan yang indah ini akan hilang. Aku juga takut kalau gosip-gosip yang ada akan menyakitinya. Aku merasa dia adalah “sahabatku” dan aku akan memilikinya tiada batasnya dan aku tidak harus memberikan semuanya hanya untuk dia.
Alasan yang terakhir, membuat dia menemaniku dalam berbagai pergumulan selama 3 tahun ini. Dia tau aku mengejar gadis-gadis lain, dan aku telah membuatnya menangis selama 3 tahun.
Ketika aku mencium pacarku yang kedua, dan terlihat olehnya. Dia hanya tersenyum dengan berwajah merah dan berkata “lanjutkan saja…” dan setelah itu pergi meninggalkan kami. Esoknya, matanya bengkak, dan merah…
Aku sengaja tidak mau memikirkan apa yang menyebabkannya menangis, but aku tertawa dengannya seharian. Ketika semuanya telah pulang, dia sendirian di kelas untuk menangis. Dia tidak tahu bahwa aku kembali dari latihan sepakbola untuk mengambil sesuatu di kelas, dan aku melihatnya menangis selama sejaman.
Pacarku yang ke-4 tidak menyukainya. Pernah sekali mereka berdua perang dingin, aku tahu bukan sifatnya untuk memulai perang dingin. Tapi aku masih tetap bersama pacarku. Aku berteriak padanya dan matanya penuh dengan air mata sedih dan kaget. Aku tidak memikirkan perasaannya dan pergi meninggalkannya bersama pacarku. Esoknya masih tertawa dan bercanda denganku seperti tidak ada yang terjadi sebelumnya. Aku tahu bahwa dia sangat sedih dan kecewa tapi dia tidak tahu bahwa sakit hatiku sama buruknya dengan dia, aku juga sedih.
Ketika aku putus dengan pacarku yang ke-5, aku mengajaknya pergi. Setelah kencan satu hari itu, aku mengatakan bahwa ada sesuatu yang ingin kukatakan padanya. Dia mengatakan bahwa kebetulan sekali bahwa dia juga ada sesuatu yang ingin dia katakan padaku. Aku cerita padanya tentang putusnya aku dengan pacarku dan dia berkata tentang dia sedang memulai suatu hubungan dengan seseorang. Aku tahu pria itu. Dia sering mengejarnya selama ini. Pria yang baik, penuh energi dan menarik.
Aku tak bisa memperlihatkan betapa sakitnya hatiaku, tapi hanya bisa tersenyum dan mengucapkan selamat padanya. Ketika aku sampai di rumah, sakit hatiku bertambah kuat dan aku tidak dapat menahannya. Seperti ada batu yang sangat berat di dadaku. Aku tak bisa bernapas dan ingin berteriak namun tidak bisa.
Air mata mengalir dan aku jatuh menangis. Sudah sering aku melihatnya menangis untuk pria yang mengacuhkan kehadirannya.
Ketika upacara kelulusan, aku membaca SMS di handphone-ku. SMS itu dikirim 10 hari yang lalu ketika aku sedih dan menangis.
SMS itu berbunyi, “Daun terbang karena Angin bertiup atau karena Pohon tidak memintanya untuk tinggal?

DAUN
Selama SMA, aku suka mengoleksi daun-daun, kenapa? Karena aku merasa bahwa daun membutuhkan banyak kekuatan untuk meninggalkan pohon yang selama ini ditinggali.
Selama 3 thn di SMA, aku dekat dengan seorang pria, bukan sebagai pacar tapi “Sahabat”. Tapi ketika dia mempunyai pacar untuk yang pertama kalinya, aku mempelajari sebuah perasaan yang belum pernah aku pelajari sebelumnya, CEMBURU. Perasaan di hati ini tidak bisa digambarkan dengan menggunakan Lemon. Hal itu seperti 100 butir lemon busuk. Mereka hanya bersama selama 2 bulan. Ketika mereka putus, aku menyembunyikan perasaan yang luar biasa gembiranya. Tapi sebulan kemudian dia bersama seorang gadis lagi.
Aku menyukainya dan aku tahu bahwa dia juga menyukaiku, but mengapa dia tidak mau mengatakannya? Sejak dia mencintaiku, mengapa dia tidak yang memulainya dulu untuk melangkah? Ketika dia punya pacar baru lagi, hatiku selalu sakit. Waktu berjalan dan berjalan, hatiku sakit.
Aku mulai mengira bahwa ini adalah cinta yang bertepuk sebelah tangan, tapi mengapa dia memperlakukanku dengan sangat baik di luar perlakuannya hanya untuk seorang teman?
Menyukai seseorang sangat menyusahkan hati, aku tahu kesukaannya, kebiasaannya. Tapi perasaannya kepadaku tidak pernah bisa diketahui. Kau tidak mengharapkan aku sebagai seorang wanita untuk mengatakannya bukan?
Di luar itu, aku mau tetap di sampingnya, memberinya perhatian, menemaninya, dan mencintainya. Berharap, bahwa suatu hari, dia akan datang dan mencintaiku. Hal itu seperti menunggu telponenya setiap malam, mengharapkannya untuk mengirimku SMS. Aku tau sesibuk apa pun dia, dia pasti meluangkan waktunya untukku. Karena itu, aku menunggunya. 3 tahun cukup berat untuk kulalui dan aku mau menyerah. Kadang aku berpikir untuk tatap menunggu. Luka dan sakit hati, dan dilema yang menemaniku selama 3 tahun ini.
Ketika diakhir tahun ke-3, seorang pria mengejarku, dia adalah adik kelasku, setiap hari dia mengejarku tanpa lelah. Dari penolakan yang telah dia tunjukkan, aku merasa bahwa aku ingin memberikan dia ruang kecil di hatiku.
Dia seperti angin yang hangat dan lembut, mencoba meniup daun untuk terbang dari pohon. Akhirnya, aku sadar bahwa aku tidak ingin memberikan Angin ini ruang yang kecil di hatiku.
Aku tau Angin ini akan membawa pergi Daun yang lusuh jauh dan ke tempat yang lebih baik. Akhirnya aku meninggalkan Pohon. Tapi Pohon hanya tersenyum dan tidak memintaku untuk tinggal, aku sangat sedih memandangnya tersenyum ke arahku.
“Daun terbang karena Angin bertiup atau Pohon tidak memintanya untuk tinggal?”

ANGIN
Karena aku menyukai seorang gadis bernama Daun, karena dia sangat bergantung pada Pohon, jadi aku harus menjadi Angin yang kuat.
Angin akan meniup Daun terbang jauh. Ketika aku pertama kalinya, ketika 1 bulan setelah aku pindah sekolah. Aku melihat seorang memperhatikan kami bermain sepakbola. Ketika itu, dia selalu duduk di sana sendirian atau dengan teman-temannya memerhatikan Pohon. Ketika Pohon berbicara dengan gadis-gadis, ada cemburu di matanya. Ketika Pohon melihat ke arah Daun, ada senyum di matanya. Memperhatikannya menjadi kebiasaanku, seperti daun yang suka melihat Pohon. Satu hari, dia tidak tampak, aku merasakan kehilangan.
Seniorku juga tidak ada saat itu, Aku pergi ke kelas mereka, melihat seniorku sedang memperhatikan daun. Air mata mengalir di mata daun ketika Pohon pergi, besoknya, aku melihat Daun di tempatnya yang biasa, memperhatikan Pohon. Aku melangkah dan tersenyum padanya. Menulis catatan dan memberikan kepadanya. Dia sangat kaget.
Dia melihat ke arahku, tersenyum dan menerima catatanku. Besoknya, dia datang, menghampiriku dan memberiku catatan. “Hati Daun sangat kuat dan Angin tidak bisa meniupnya pergi, hal itu karena Daun tidak mau meninggalkan Pohon.” Aku melihat ke arahnya dengan kata-kata tersebut dan pelan dia mulai berkata padaku dan menerima kehadiranku dan teleponku.
Aku tahu orang yang dia cintai bukan aku, tapi aku akan berusaha agar suatu hari dia menyukaiku. Selama 4 bulan, aku telah mengucapkan kata Cinta tidak kurang dari 20 kali kepadanya. Setiap kali dia mengalihkan pembicaraan… tapi aku tidak menyerah, aku memutuskan untuk memiliki dia dan berharap dia akan setuju menjadi pacarku.
Aku bertanya, “apa yang kau lakukan? Kenapa kau tidak pernah membalas?” Dia berkata, “aku menengadahkan kepalaku”.
“Ah?” Aku tidak percaya apa yang aku dengar.
“Aku menengadahkan kepalaku” dia berteriak.
Aku meletakkan telepon, berpakaian dan naik taxi ke tempat dia, dan dia membuka pintu, aku memeluknya kuat-kuat.
“Daun terbang karena tiupan Angin atau karena Pohon tidak memintanya untuk tinggal”.